Subscribe to RSS feeds

9.14.2010

Media oh Media...

Kali ini Lulala mau cuap-cuap soal Media.

Gini, loh saudara-saudari sekaliann. . .
Beberapa bulan yang lalu, saya agak dikagetkan dengan berita soal skandal video hebohnya ariel dengan beberapa wanita lainnya. Bagaikan virus, berita itu menyebar dengan begitu cepatnya ke masyarakat, tanpa pandang usia. Bukan hanya lewat infotainment aja, tapi juga lewat berita. Ya, berita-berita yang seharusnya lebih memberikan informasi yang jauh lebih penting daripada skandal artis.
Karena intensitas yang tinggi dalam pemberitaan skandal itu, masyakarat seakan-akan “diajak” untuk melupakan hal penting lainnya. Let’s say soal korupsi yang waktu itu juga sedang terjadi. Well, tidak kah itu terlihat ironis? Mengabarkan sesuatu yang dikatakan “tabu” secara kontinu, dan melupakan peristiwa yang merugikan rakyat?
Tidak cukup sampai disitu. Lewat berita pula lah dikatakan bahwa para pelaku telah merusak moral rakyat, bahkan dikatakan di berita terjadi tindak perkosaan karena terinspirasi video tersebut. Ok, sekarang mari kita intip kebelakang seputar kronologisnya.
Pertama, siapa yang menyebarkan berita skandal tersebut?
Kedua, siapa yang secara terus menerus menayangkan, memberitakan, membahas, dan mengangkat topik tersebut ?
Ketiga, siapa yang kembali membahas dan me”re-call” ingatan kita akan video tersebut?
Jawabannya sangatlah jelas : MEDIA. Baik itu media cetak atau pun elektronik.
Mari kita pikirkan. JIKA media khususnya dalam hal ini televisi (mengingat televisi telah menjamur di Indonesia) tidak secara terus menerus memberitakan berita tersebut, tidak mengangkat berita tersebut ke permukaan, AKAN kah masyarakat segala lapisan, segala usia, dan segala profesi tahu mengenai hal itu?
AKAN kah masyarakat “terinspirasi” (kata media juga) atas video yang diberitakan tersebut?
AKAN kah moral rakyat Indonesia mengarah ke moral yang buruk?
So, PLEASE, teman-teman. Sadarilah bahwa terkadang, apa yang kita lihat, kita dengar, dan kita terima TIDAK selamanya relevan dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Oleh karena itulah, kita perlu mencoba untuk lebih kritis dalam memaknai sesuatu, sekalipun sesuatu itu berasal dari berita.

Begitu lah sekiranya gambaran media di negeri kita yang tercinta ini. Tapi itu baru dari satu sudut : berita. Bagaimana dengan hal-hal lainnya?

Mungkin banyak dari teman-teman yang tahu fungsi dari media, khususnya media massa. Disini saya hanya mengulang saja. Jika disimpulkan, media massa berfungsi untuk menginformasikan, mendidik,menghibur, dan mengawasi (dalam hal ini maksudnya pengawasan social – social control – antara public dengan pemerintah). Adapun fungsi lainnya, seperti menghubungkan (korelasi), sosialisasi budaya, dan juga mempererat rasa kebersatuan.

Jika dilihat dari fungsinya, proses pemberitaan di media memang banyak memberikan informasi bagi masyarakat. Mulai dari kriminalitas, hingga hal-hal penting lainnya. Namun, terkadang berita-berita yang kurang mendidik pun turut di informasikan. . .

Nah, mari kita sorot fungsi menghibur-nya. . . seperti yang kita sadari, televisi banyak memberikan suguhan yang menghibur, salah satunya lewat sinetron. Banyak penggila sinteron yang selalu mengikuti setiap episode sinetron yang disuguhkan. Walaupun cukup menghibur, tapi apakah cukup mendidik pula? Disinilah terjadi penyimpangan fungsi dari media massa.
Tak bisa dipungkiri, hiburan adalah hal mutlak yang masyarakat butuhkan. Kemudian, bagaimana bila hiburan tersebut mulai kurang mendidik? Seperti halnya yang terjadi kepada keponakan saya. Bayangkan. Pada saat usianya kurang lebih 4 tahun, ia mengucapkan sepatah kata yang membuat seisi rumah kaget : “dasar cewek murahan!” . Spontan saya bertanya padanya: “siapa yang ngajarain kayak gitu?”. Sejenak ia terlihat takut dan diam. Mamanya kemudian bertanya : “Mama pernah ngajarin kamu ngomong begitu?”. Anak itu menggeleng dan kemudian menjawab : “Kan, di tivi sering ada yang ngomong gitu….”. Speachless memang.
Tayangan yang dikhususkan untuk anak kecil – seperti kartun – sangat terbatas jumlahnya. Jadi, tontonan yang bisa di tonton anak-anak itu hanyalah tontonan yang apa adanya saja. Mungkin tontonan anak bisa diawasi oleh orang tua yang seharian dirumah dan bebas dari pekerjaan lainnya. Namun, berapa banyak jumlah ibu/ orang tua yang hidup dalam keadaan santai seperti itu? Bagaimana dengan mereka yang memiliki keterbatasan dalam mengawasi tontonan anak?

Terkadang, saya kangen sama tayangan-tayangan menghibur zaman saya masih kecil. Nggak perlu sinetron untuk menghibur. Buatlah semacam kuis-kuis yang seru, yang menampilkan sisi edukatif di dalamnya. Saya rasa, itu akan sangat menghibur…

Ow, yah.. tentunya teman-teman sekalian juga udah pada tahu kalo media itu adalah the fourth estate, setelah trias politika (daam hal ini eksekutif,legislatif, dan yudikatif). Cuma bermaksud untuk me-refresh, media dikatakan sebagai the 4th estate karena media mampu menjalankan fungsi pengawasan dengan begitu baiknya di era tahun 90an, tepatnya kahir tahun 90an. Ingat saat mantan presiden kita yang kedua mengundurkan diri dari jabatannya? Nah disaat itu pula lah media semakin berkembang. Dan semakin terasa sekarang. Sedikit-sedikit, rakyat minta Presiden untuk menyelesaikan masalah mereka. Semua mau presiden yang turun tangan. Dan semua itu hanya disampaikan lewat media. Jadi, untuk fungsinya yang satu ini, media memang jago nya, dehhh. . .
Hehehee. . .
Bagaimana pun, maju terus media yang ada di Indonesia! Didiklah kami, jangan bodohi kami.
^^

0 komentar:

Posting Komentar